Oleh : Gerbana Bastari
Opini – corongnews.com,
Tahun 2022 sudah usai kita jalani, selama 12 Bulan di tahun itu kita melaluinya dengan berbagai macam kegiatan dan dalam kondisi serta keadaan yang beragam, baik terhadap diri kita pribadi maupun secara hidup berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia yang tercinta ini.
Kehidupan berbangsa dan bernegara yang diatur oleh Pemerintah baik Pusat dan Daerah di tahun 2022 banyak sekali menyimpan catatan-catatan penting sebagai pengingat bagi kita, baik itu catatan terkait masalah perekonomian, masalah politik, kenaikan BBM, krisis global, masalah Kesehatan, Pendidikan serta kinerja aparat penegak hukum dan lain sebagainya.
Negara tidak sedang baik-baik saja, refleksi tahun 2022 ini harus menjadikan pemangku kepentingan baik ditingkat Pusat maupun daerah agar lebih mengedepakan pelayanan dan kesejahteraan rakyat di tahun berikutnya.
Kita butuh perubahan, ditahun 2023 maupun di tahun 2024 mendatang merupakan tahun tahun politik, Pemilihan Umum, Pemilihan Legislatif, Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah. Jangan jadikan tahun politik nanti sebagai ajang unjuk kekuatan dan perebutan kekuasaan, jangan pula jadikan Politik Uang (money politik) untuk mencapai tujuannya karena ini ancaman serius yang menciderai demokrasi.
Sejarah memberi pelajaran kepada kita bahwa demokrasi yang dihasilkan dari money politik hanya akan melahirkan situasi dan kondisi yang tidak berpihak kepada rakyat dan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Kekuasaan hasil dari money politik tidak akan bisa menyelesaikan masalah perekonomian, masalah politik, kenaikan BBM, krisis global, masalah Kesehatan, Pendidikan serta kinerja aparat penegak hukum dan lain sebagainya.
Seperti yang diketahui bahwa Reformasi telah membuka ruang demokrasi bagi kita untuk terlibat dalam Partai Politik agar berkuasa, duduk di tingkatan Eksekutif atau di Parlemen. Agar tujuan berkuasa bisa tercapai, berbagai cara dan upaya dilakukan, termasuk salah satunya adalah politik uang dengan membeli suara rakyat ketika berlangsungnya pesta demokrasi.
Bisa kita ketahui derasnya aliran uang ditengah masyarakat ketika momentum pemilu berlangsung bukan rahasia umum lagi. Cara berpolitik tidak sehat ini diduga sengaja dilakukan untuk merusak demokrasi dan sistem berpolitik kita sehingga wakil rakyat yang terpilih nanti diduga tidak benar-benar mewakili aspirasi rakyat. Cara ini juga bisa mengakibatkan politikus yang sedikit memiliki uang tidak mampu bersaing dengan mereka yang memiliki uang banyak dalam kontestasi Pemilu tersebut.
Politik, uang dan ekonomi dalam pesta demokrasi (pemilu) di Indonesia sangat erat dan saling berhubungan langsung serta menjadi komponen yang tidak dapat dipisahkan. Uang digunakan sebagai kebutuhan para peserta pemilu untuk mengapai tujuan politik, entah itu ingin menjadi Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota serta menjadi Anggota DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Peranan ketiga komponen itu sangat penting untuk membiayai segala macam operasional yang ditujukan untuk membangun, memperkuat simpul massa dan mengikat suara mereka nantinya.
Ekonomi dalam pemilu yang dimaksud adalah uang, kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan dan pakaian serta yang lainnya. Karena kebutuhan pokok ini dinilai tepat untuk disalurkan dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat khususnya mereka yang kurang mampu, maka ini menjadi salah satu strategi yang biasa digunakan oleh para calon peserta pemilu untuk memikat hati rakyat.
Dengan memberikan bantuan kebutuhan pokok tadi ke masyarakat, si pemberi berusaha untuk memperkenalkan diri membangun hubungan yang sifatnya spontan dengan harapan mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat jika pada waktunya nanti diperlukan (pemilu). Moment memberi ini nyata sekali, ketika menjelang pemilu, banyak para calon peserta pemilu berlomba lomba hadirkan bantuan, entah itu sembako, pakaian dan alat sholat serta uang dan lain sebagainya untuk masyarakat yang berada di Daerah Pemilihannya.
Kegiatan seperti itu disaat pemilu ternyata menghasilkan sesuatu hal yang kurang baik bagi demokrasi kita. Seperti contoh, hanya calon yang memiliki uang banyak saja yang bisa melakukan kegiatan itu, sedangkan calon “kere” terpinggirkan. Inilah yang kemudian diduga munculnya ketergantungan dan opini “money politik” dalam masyarakat kita sehingga ada rasa tidak peduli masyarakat kepada siapapun nanti yang terpilih mewakili mereka.
Kemudian masyarakat menjadi pragmatis, dan kwalitas peserta Pemilu bisa diragukan dalam hal memperjuangakan aspirasi masyarakat.
Mungkin hanya sedikit orang yang benar-benar melek politik dan mereka belum bisa untuk merubah politik uang yang sudah terlanjur tercipta di masyarakat.
Kegiatan ekonomi “money” politik semacam itu menciptakan budaya jual beli suara serta berdampak buruk bagi pesta demokrasi yang tentunya juga telah menciderai demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak, dalam pesta demokrasi itu seharusnya rakyat menjadi pintar dan memiliki pandangan politik tersendiri terkait siapa yang akan dipilihnya nanti. Tetapi dengan adanya budaya tadi, masyarakat telah dibutahkan oleh money politik.
Atas nama pemberian sembako dan uang tadi, masyarakat dipaksa tunduk dan patuh atas perintah yang diberikan dan hal ini tentunya mengabaikan nalar sehatnya atas calon yang benar-benar peduli terhadap kehidupan mereka nantinya.
Bukan tanpa sebab timbulnya budaya money politik. Faktor penyebabnya pertama kemiskinan dan desakan ekonomi yang membuat masyarakat tidak mempunyai pilihan lain selain mengambil hadiah instan yang diberikan oleh para calon. Bagi mereka kebutuhan hari ini lebih penting untuk menyambung hidup satu hari saja. Kedua tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat, kemudian tidak adanya jalinan kasih dan emosi yang dibangun oleh mereka yang sadar politik untuk membentuk kesadaran emosional kedua pihak. Dan terakhir tidak terjalinnya hubungan komunikasi, hubungan ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak. Faktor-faktor tersebut seharusnya diperhatikan oleh mereka yang benar-benar berpolitik untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
BELAJAR DARI PENGALAMAN
Untuk mewujudkan harapan di Tahun Politik dalam sudut pandang berdemokrasi agar mencapai Masyarakat Adil Makmur maka kita perlu banyak belajar dari pengalaman beberapa orang. Mulai belajar dari mereka yang mengalami kegagalan, belajar “dalam hal positif” dari mereka yang sudah merasakan empuknya kursi jabatan serta belajarlah dari pengalaman banyak orang.
Sebagai gambaran, jika selama ini (Pemilu) calon hanya berkenalan lewat keluarga, teman, melalui banner, melalui foto n medsos serta sesekali tatap muka dengan calon pemilihnya tanpa memberikan solusi mempertimbangkan faktor kemiskinan masyarakat, tanpa mempertimbangkan faktor talih kasih dan emosi serta hubungan ekonomi yang saling menguntungkan antara masyarakat dan calon, maka persiapkan diri anda untuk menerima kekalahan. Sebab anda otomatis kalah dengan mereka yang menggunakan jalur politik uang, dan tentunya mereka cukup banyak uang untuk membeli suara.
Sudah banyak orang-orang yang kita kenal yang telah mengikuti pemilu legislatif maupun Pilkada tetapi mereka selalu gagal. Sebab, biasanya gerakan mereka akan dilakukan 1 tahun menjelang pemilu. Ada yang berupaya bergerak lewat hubungan keluarga, teman dan advokasi masyarakat. Adapula mereka yang ber money politik dengan membentuk tim.
Kegagalan itu bisa di evaluasi, dari evaluasi tersebut, lantas, upaya apa yang harus kita bangun agar harapan berdemokrasi untuk mencapai tujuan politik yang lebih baik. Jangan lelah untuk berjuang demi mencapai MASYARAKAT ADIL MAKMUR.
“Selamat tinggal tahun 2022 dan selamat datang di tahun 2023”.
Palembang, 31 Desember 2022