Sekolah Rakyat dalam Tinjauan Sosialisme: Pendidikan sebagai Alat Pembebasan

Sekolah Rakyat
foto/ilustrasi

oleh: Agung Nugroho, ketua umum KPN Relawan Kesehatan Indonesia

 

KOLOM PEMBACA-OPINI, CorongNews – Saat ini program Sekolah Rakyat sedang didengung-dengungkan sebagai program yang dianggap populis karena bertujuan untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan yang akarnya dari kebodohan akibat pembodohan yang dilakukan oleh sistem kapitalis.

Pendidikan apapun bentuknya termasuk sekolah rakyat akan menjadi alat pembebasan jika landasannya adalah teori pembebasan bukan teori kapitalis.

Bacaan Lainnya

Berikut saya sharring terkait sekolah rakyat sebagai alat pembebasan dari kemiskinan dan kebodohan tadi.

Di tengah ketimpangan sosial yang semakin menganga, akses terhadap pendidikan yang adil dan membebaskan masih menjadi persoalan mendasar bagi mayoritas rakyat miskin di Indonesia. Sistem pendidikan formal yang tersedia umumnya berjalan dalam koridor pasar dan negara, yang sering kali menempatkan peserta didik sebagai objek—bukan subjek—dalam proses belajar. Dalam konteks ini, sekolah rakyat muncul sebagai bentuk perlawanan, ruang alternatif yang lahir dari bawah, dan berpijak pada semangat kolektif. Untuk memahami peran strategis sekolah rakyat, kita perlu meninjaunya dari perspektif sosialisme.

*Pendidikan dan Reproduksi Ideologi dalam Kapitalisme*

Sosialisme, sebagai teori dan praktik pembebasan kelas pekerja, memiliki pandangan kritis terhadap fungsi pendidikan dalam masyarakat kapitalis. Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The German Ideology menyatakan bahwa ide-ide dominan dalam masyarakat adalah ide-ide dari kelas penguasa. Pendidikan dalam sistem kapitalis, dengan demikian, berperan mereproduksi tatanan sosial yang eksploitatif dan menanamkan kepatuhan terhadap status quo.

Louis Althusser, filsuf Marxis dari Prancis, bahkan menyebut sekolah sebagai salah satu Ideological State Apparatus (ISA), yakni instrumen negara yang secara halus namun efektif menanamkan nilai-nilai kapitalisme—seperti kompetisi, individualisme, dan hierarki kelas. Siswa tidak hanya diajarkan membaca dan berhitung, tetapi juga dibentuk menjadi tenaga kerja patuh yang siap memasuki pasar kerja tanpa mempertanyakan ketidakadilan yang ada.

*Sekolah Rakyat: Pendidikan Emansipatoris ala Sosialisme*

Berangkat dari kritik tersebut, sekolah rakyat tampil sebagai bentuk praksis pendidikan alternatif yang bersifat emansipatoris. Sekolah rakyat bukan hanya tempat belajar membaca dan menulis, melainkan ruang pembentukan kesadaran kelas dan penyadaran politik rakyat. Konsep ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, yang mengedepankan pendidikan dialogis, partisipatif, dan kontekstual.

Freire menolak model banking education, yaitu pendidikan yang memposisikan guru sebagai pemberi pengetahuan dan murid sebagai wadah kosong. Sebaliknya, pendidikan harus membangun hubungan horizontal antara pengajar dan pelajar, sehingga proses belajar menjadi proses bersama dalam memahami dan mengubah dunia. Dalam semangat sosialisme, pendidikan bukan sekadar sarana mobilitas sosial individual, tetapi sarana perjuangan kolektif untuk transformasi sosial.

*Membangun Kesadaran Kelas dari Bawah*

Sekolah rakyat mengambil basisnya dari komunitas: dari kampung-kampung nelayan, dusun-dusun petani, hingga pemukiman kelas pekerja urban. Materi pelajaran tidak datang dari kurikulum negara, tetapi lahir dari pengalaman sehari-hari rakyat. Misalnya, seorang anak buruh tani tidak hanya diajari berhitung, tetapi juga diajak memahami bagaimana ketimpangan distribusi tanah berpengaruh terhadap hidup keluarganya. Di sinilah letak kekuatan utama sekolah rakyat: membangun kesadaran kritis yang berakar pada pengalaman konkret rakyat.

Kesadaran ini penting dalam kerangka sosialisme karena membuka jalan bagi pembentukan class consciousness—kesadaran bahwa rakyat tertindas memiliki kepentingan bersama untuk mengubah sistem yang menindas mereka. Sebagaimana ditegaskan Rosa Luxemburg, “mereka yang tidak bergerak, tidak menyadari bahwa mereka dirantai.”

*Pendidikan sebagai Alat Perjuangan, Bukan Komoditas*

Kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar. Sekolah rakyat menolak logika ini. Ia membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat kecil, tanpa bayaran, tanpa diskriminasi. Para pengajarnya adalah aktivis, mahasiswa, buruh terdidik, atau siapa saja yang bersedia berbagi pengetahuan dan belajar bersama rakyat.

Dengan demikian, sekolah rakyat bukan hanya solusi jangka pendek atas keterbatasan pendidikan formal, melainkan juga strategi jangka panjang dalam membangun gerakan rakyat yang sadar, terorganisir, dan berdaya. Pendidikan menjadi alat perjuangan, bukan sekadar instrumen peningkatan kompetensi individual.

*Menyemai Benih Revolusi Lewat Pendidikan*

Dalam kerangka sosialisme, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan kelas. Sekolah rakyat adalah bentuk konkret dari upaya merebut kembali pendidikan dari tangan kapital—mengembalikannya ke rakyat sebagai alat pembebasan. Ia adalah benih revolusi yang ditanam dari bawah, dari ruang-ruang kecil di mana rakyat belajar mengenali dunianya dan merancang masa depannya secara kolektif.

Sebagaimana cita-cita kaum sosialis sejak awal: dunia yang adil hanya dapat dibangun oleh rakyat yang sadar, terdidik, dan terorganisir. Dan sekolah rakyat, sejauh ia berpijak pada semangat emansipasi, kolektivitas, dan perjuangan kelas, adalah jembatan menuju dunia baru itu. (red*)

Pos terkait