Membaca Sejarah Khadijah ; Inspiratif, Mematahkan Sejumlah Pandangan Terhadap Wanita Muslim di Masanya

oleh -393 views
oleh

Corongnews.com –

“Dia benar-benar menembus batas. Bahkan perempuan modern pun ingin mencapai apa yang dia capai 1400 tahun lalu.”

Demikian Asad Zaman, seorang imam dari kota Manchester (Inggris), menggambarkan Khadijah, perempuan yang lahir pada abad ke-6 di tempat yang sekarang disebut Arab Saudi.

Dia adalah sosok yang dihormati, kaya, dan berkuasa, yang menolak banyak lamaran pernikahan dari bangsawan terkemuka.

Akhirnya dia menikah, dua kali. Suami pertamanya meninggal, dan dia diyakini memutuskan untuk berpisah dari yang kedua.

Setelah itu, dia bersumpah tidak akan menikah lagi sampai dia bertemu laki-laki yang akan menjadi suami ketiga dan terakhirnya.

Khadijah melihat “beberapa kualitas luar biasa (dalam dirinya) yang membuatnya berubah pikiran tentang pernikahan,” kata Zaman kepada BBC.

Tidak seperti biasanya pada zaman itu, Khadijah lah yang memilih dan melamarnya.

Usianya saat itu 40 tahun, sedangkan calon suaminya berusia 25 tahun dan berasal dari keluarga sederhana.

Tapi ini lebih dari sebuah kisah cinta; ini adalah asal mula agama terbesar kedua di dunia.

Suami baru Khadijah adalah Muhammad, yang tak lama kemudia menjadi pembawa risalah Islam.

Pedagang ulung

Robert Hoyland, seorang profesor sejarah Timur Tengah Kuno di Universitas New York, mengatakan bahwa sulit untuk mendapatkan gambaran rinci tentang Khadijah, sebagian karena informasi tentangnya ditulis bertahun-tahun setelah ia meninggal dunia.

Namun, kebanyakan sumber menunjukkan bahwa dia adalah seorang perempuan dengan “ambisi jiwa yang bebas, dan kemauan yang sangat kuat,” kata Hoyland kepada BBC.

Misalnya, dia menolak untuk menikahi sepupunya-seperti yang diinginkan keluarganya sesuai dengan tradisi- karena dia ingin menjadi orang yang memilih pasangannya.

Khadijah adalah putri seorang pedagang yang mengubah bisnis keluarga menjadi sebuah kerajaan dagang.

Setelah ayahnya meninggal dalam pertempuran, dia mengambil alih.

“Dia jelas terbiasa berdiri di atas kaki sendiri,” kata sejarawan dan penulis Bettany Hughes dalam film dokumenter BBC.

“Bahkan, kemampuan bisnisnyalah yang kelak membawanya ke jalur yang pada akhirnya mengubah sejarah dunia.”

Merekrut asisten

Khadijah mengelola bisnisnya dari Mekah (Arab Saudi), dan usahanya membutuhkan banyak karavan untuk mengangkut barang ke dan dari kota-kota terbesar di Timur Tengah.

Khalifah ini menempuh jarak yang sangat jauh dari Yaman Selatan ke Suriah Utara.

Meskipun sebagian dari kekayaannya berasal dari keluarganya, Khadijah menghasilkan banyak harta sendiri, kata Fozia Bora, profesor sejarah Islam di Universitas Leeds di Inggris.

“Perempuan itu adalah pengusaha yang andal, dan sangat percaya diri.”

Khadijah biasa merekrut stafnya sendiri, memilih orang-orang dengan keterampilan khusus untuk kepentingan bisnisnya.

Dia mendengar tentang seorang pria yang punya reputasi sangat jujur dan pekerja keras, jadi setelah pertemuan yang memuaskan, dia disewa untuk mengambil alih satu karavannya.

Khadijah mengagumi keuletannya, dan seiring berjalannya, dia sangat terkesan olehnya sehingga dia memutuskan untuk menikah lagi.

Muhammad – seorang yatim piatu, dibesarkan oleh pamannya – tiba-tiba memperoleh kehidupan “yang lebih stabil dan sejahtera secara ekonomi,” kata Fozia Bora.

Diyakini pasangan itu kemudian memiliki empat anak, meskipun hanya anak-anak perempuannya yang bertahan hidup sampai dewasa.

Ada hal lain yang unik dalam pernikahan ini : “Ini adalah pernikahan monogami,” kata Profesor Rania Hafaz, dari Institut Muslim London, kepada BBC.

Ini luar biasa “dari sudut pandang sosiologis, pada saat itu kebanyakan laki-laki memiliki beberapa istri. Masyarakat Arab saat itu adalah masyarakat poligami.”

Wahyu pertama

Muhammad lahir dan besar di suku Quraisy (seperti Khadijah), pada masa ketika berbagai kelompok di daerah itu menyembah beberapa dewa.

Beberapa tahun setelah pernikahannya, Muhammad memulai transformasi spiritual – dan berkelana ke pegunungan sekitar Mekah untuk beribadah.

Menurut kepercayaan Islam, Muhammad menerima wahyu dari Tuhan melalui Jibril, malaikat yang pernah mengumumkan kepada Maria bahwa dia akan menjadi ibu Yesus – Nabi Isa dalam agama Islam.

Melalui inilah Al-Quran, kitab suci umat Islam diturunkan kepada Muhammad.

Dikatakan bahwa ketika Muhammad menerima wahyu pertama, dia merasa takut karena tidak mengerti apa yang terjadi.

“Dia tidak bisa mengerti apa yang dia alami. Dia tidak memiliki titik acuan, karena tidak dibesarkan dengan pemahaman tentang monoteisme, tentang Tuhan,” kata Fozia Bora.

“Dia sangat bingung dan terganggu dengan peristiwa ini. Sumber-sumber mengatakan wahyu itu tidak mudah, dan meskipun pengalamannya lembut, namun secara fisik mengejutkan.”

Muhammad memutuskan untuk bercerita “pada satu-satunya orang yang paling dia percaya,” kata Prof Hoyland.

Khadijah mendengarkan dan menenangkannya. Secara intuitif, dia mengira ini hal yang baik, dan menghibur suaminya.

Dia bahkan  meminta nasihat dari seorang kerabat yang memiliki pengetahuan tentang agama Kristen.

Diyakini bahwa Waraqah bin Naufal menghubungkan wahyu Muhammad sengan yang diterima oleh Musa.

“Dia (Waraqah) tau kitab suci sebelumnya,” Bora menjelaskan, jadi itu “Semacam konfirmasi keaslian wahyu Muhammad.”

“Kita tahu bahwa ketika dia mulai menerima wahyu Al-Quran, Muhammad bahkan meragukan dirinya sendiri. Tapi Khadijah meyakinkannya bahwa dia sebenarnya adalah seorang nabi,” kata Leila Ahmed, seorang pakar agama Islam yang mengajar di Universitas Harvard, AS.

Muslim pertama

Banyak ulama setuju bahwa, karena Khadijah adalah orang pertama yang mendengar wahyu yang diterima Muhammad, dia harus diakui sebagai muslim pertama dalam sejarah.

“Dia percaya dan memerima pesan itu,” kata Folza Bora.

“Saya pikir itu memberi Muhammad banyak kepercayaan diri untuk mulai menyebarkan pesan itu dan membuatnya merasa seperti dia punya suara.”

Sejarawan Bettany Hughes berkata pada tahap ini, Muhammad menantang para tetua suku dan memutuskan untuk berkhotbah di depan umum : “Hanya ada satu Tuhan, Allah. Menyembah tuhan yang lain adalah musyrik.”

Menurut Foiza Bora, ketika Muhammad mulai menyebarkan agama Islam, dia dimarjinalkan oleh banyak amggota masyarakat Mekah yang menentang monoteisme (kepercayaan hanya pada satu Tuhan).

“Tapi Khadijah,” tambah Foiza Bora memberinya dukungan dan perlindungan yang sangat dia butuhkan saat itu.”

“Selama 10 tahun berikutnya, Khadijah menggunakan koneksi keluarganya dan semua kekayaannya untuk mendukung suaminya dan mendanai penyebaran agama yang baru lahir,” kata Hughes,

“Sebuah agama yang dibangun atas dasar kontroversial yaitu satu Tuhan, dalam masyarakat yang politeistik (keyakinan akan keberadaan banyak tuhan/dewa).”

Tahun kesedihan

Khadijah mencurahkan segala daya-upaya untuk mendukung suaminya dan Islam – tapi pada 619, dia jatuh sakit dan meninggal dunia.

Setelah 25 tahun bersama, Muhammad merasakan kesedihan yang luar biasa.

“Yang luar biasa dari sumber-sumber pada waktu itu adalah bagaimana mereka menyebut Khadijah sebagai sahabat terbaik Muhammad, bahkan lebih dari para sahabat terdekatnya, seperti Abu Bakar atau Umar,” tambah profesor itu.

Sejarawan Bettany Hughes menunjukkan bahwa umat Islam masih mengingat tahun kematiannya sebagai ‘tahun kesedihan’.

Akhirnya, Muhammad menikah lagi, dan kali ini dia berpoligami.

Dalam program BBC, Fatima Barkatulla, seorang sarjana muslim dan penulis buku anak-anak tentang Khadijah, mengatakan bahwa sebagian besar dari apa yang kita ketahui tentang Khadijah berasal dari hadits – cerita, tradisi dan perkataan tentang kehidupan Muhammad.

Ini pertama kali diceritakan dan diingat oleh pengikut terdekat Muhammad, dan baru ditulis kemudian.

Sosok yang menginspirasi dan luar biasa

Bagi Foiza Bora, mempelajari sejarah Khadijah sangat penting untuk mematahkan mitos bahwa pada komunitas Muslim awal, perempuan dikurung di rumah.

Muhammad tidak meminta Khadijah untuk berhenti melakukan apa yang diinginkannya. Faktanya, katanya, Islam memberi banyak hak dan keunggulan bagi perempuan saat itu.

“Bagi saya, sebagai sejarawan dan sebagai muslim, Khadijah adalah sosok yang menginspirasi, seperti Fatimah (salah satu putrinya bersama Muhammad) dan Aisyah, diantara perempuan lainnya,” kata Foiza Bora.

“Mereka adalah tokoh intelektual, aktif secara politik, dan memainkan peran besar dalam menyebarkan agama dan membentuk masyarakat Islam.”

“Sungguh luar biasa bagi saya,” kata cendikiawan itu.

“Saya bisa mengajarkan kepada murid-murid saya, yang beragama Islam maupun yang tidak, tentang perempuan-perempuan ini.”

(BBC Indonesia)

No More Posts Available.

No more pages to load.