Daya Beli Masyarakat Menurun, Buntut Meroketnya Harga Barang dan pajak?!

oleh -87 views
oleh
mie mercon jawara talang kelapa

Corongnews.com – Buntut dari naiknya harga sejumlah barang dan pungutan pajak, tahun ini diduga menjadi tahun yang berat bagi masyarakat, terutama ekonomi menengah ke bawah.

Tercatat, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% khususnya untuk barang mewah, hingga penambahan Objek Cukai yaitu Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

Adapula potensi kenaikan iuran BPJS Kesehatan, potensi kenaikan harga gas Elpiji, potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), penerapan Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) yang akan dikenakan PPN, penerapan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) serta opsen pajak kendaraan bermotor.

Dikunjungi media ini, beberapa pedagang di kawasan Kecamatan Alang-Alang Lebar, Palembang  mengeluhkan hal serupa, yakni penurunan omset lantaran sepi pembeli.

Dikatakan, situasi ini berlangsung sejak awal tahun baru 2025, menyusul naiknya harga sejumlah barang.

“Sejak barang-barang naik, dari tahun baru sampai sekarang (omset) makin nurun, bukannya makin bagus penjualan.” Ujar Yulis, pedagang mainan ditemui media di lapak jualannya.

Yulis menjelaskan, penurunan omset mencapai 50 persen lebih yang membuatnya bingung untuk memutarkan modal dan tetap bertahan.

“Kita lapak sewa, setiap hari harus sekian persen (disisihkan) untuk bayar sewa lapak. Kalau kondisi makin berat, sulit bertahan.”

Hal serupa disampaikan salah satu pedagang olahan mi di Kelurahan Talang Kelapa yang mengaku juga mengalami penurunan omset pasca naiknya harga sejumlah barang.

“Terasa sekali menurunnya, kalau biasanya satu hari habis 6 kilo, sekarang paling 3 kilo. Belum lagi bahan-bahan mahal, cabe, bawang, ayam semua mahal. Jadi dilema, kalau harga kita naikkan dalam situasi begini, pasti makin berat.” Keluhnya.

Merangkum dari sejumlah pedagang, mereka berharap harga dapat kembali stabil dan menaruh harapan besar kepada pemerintah selaku pemangku kebijakan.

Menukil sejumlah sumber, tingkat inflasi tahunan pada Januari 2025 menjadi yang terendah sejak 25 tahun terakhir. Kondisi ini mengindikasikan daya beli masyarakat masih lemah.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Januari 2025, inflasi tahunan (year on year/yoy) mencapai 0,76 persen. Angka ini merupakan yang terendah dalam 25 tahun terakhir, sejak 2000, dengan inflasi tahunan pada bulan yang sama tercatat sebesar 0,28 persen.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, inflasi yang rendah ini mengindikasikan daya beli masyarakat masih melemah. Sebab, masyarakat banyak yang menahan konsumsi karena menilai kondisi ekonomi masih diliputi ketidakpastian akibat faktor eksternal dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) maupun karena faktor internal seperti banyaknya industri padat karya dalam negeri yang gulung tikar.

“Mereka enggak pede belanja. Ada juga yang tahan belanja untuk persiapan Ramadan bulan Maret nanti,” ujarnya dilansir Kompas.com, Selasa (4/2/2025).

Bahkan menurutnya, berbagai macam insentif yang sudah digelontorkan pemerintah sejak awal tahun 2025 tidak mampu mendongkrak daya beli masyarakt sehingga inflasi tahunan pada Januari 2025 rendah.
Untuk diketahui, pemerintah telah menerapkan kebijakan stimulus ekonomi mulai dari diskon tarif listrik sebesar 50 persen hingga pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) untuk pembelian properti dan kendaraan listrik.

“Indikasi sisi permintaan sedang melemah meski pemerintah gelontorkan insentif, PPN 12 persen juga dibatalkan, tapi masyarakat lebih memilih menyimpan uang di bank,” ucapnya.

Bhima menyebut, inflasi yang rendah ini dapat menyebabkan kesempatan kerja berkurang terutama bagi pekerja lulusan SMK dan perguruan tinggi.

Sementara bagi pengusaha informal, inflasi yang rendah dapat berpotensi menurunkan omset usaha. Bahkan jika kondisi ini terus berlangsung, dapat menyebabkan resesi ekonomi.
“Situasi rendahnya sisi permintaan kalau dibiarkan bisa mengarah pada resesi ekonomi dimana dua kuartal atau lebih ekonomi berisiko melambat,” tukasnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga mengatakan, inflasi tahunan yang rendah menandakan daya beli masyarakat yang lemah masih menjadi permasalahan ekonomi nasional. (*V)

No More Posts Available.

No more pages to load.